Showing posts with label MURABBI. Show all posts
Showing posts with label MURABBI. Show all posts

Monday, October 23, 2017

13 ALASAN ELAK JADI MURABBI



Oleh : Cahyadi Takariawan

Dari survei kecil yang saya lakukan terhadap peserta Daurah Murabbi di beberapa tempat, ada 13 alasan mengapa kader tidak memiliki binaan.

Berikut 13 alasan tersebut sekaligus 13 jawaban yang saya berikan.

1. Tidak PD (percaya diri) menjadi Murabbi

Alasan : Saya akan membina siapa? Tidak mungkin ada orang yang mau saya bina.

Jawaban : Masyarakat Indonesia ada 240 juta. Mereka memerlukan Murabbi. Banyak yang mau dibina.

2. Tidak Pantas Menjadi Murabbi

Alasan : Saya belum pantas menjadi Murabbi. Yang lain saja, masih banyak yang lebih pantas dibanding saya.

Jawaban : Menjadi Murabbi itu sekaligus membina diri. Nanti akan berproses bersama mutarabbi menjadi lebih pantas lagi.

3. Tidak Mengerti Cara Membina

Alasan : Saya tidak tahu bagaimana cara membina dan cara mengelola halaqah.

Jawaban : Makanya ikut Sekolah Murabbi. Di situ diajarkan semuanya.

4. Stok Materi Terbatas

Alasan : Saya tidak punya banyak materi. Stok materi saya sedikit.

Jawaban : Sudah banyak buku, DVD dan file materi Tarbiyah. Tidak akan kekurangan stok.

5. Bacaan Qur’an Belum Bagus

Alasan : Bacaan Qur’an saya jelek. Malu saya nanti kalo pas liqa, masa’ murabbi bacaannya jelek.

Jawaban : Bacaan Qur’an bisa diperbaiki asalkan mau belajar.

6. Menunggu Kalau Sudah Baik

Alasan : Saya belum baik. Masih banyak kekurangan dalam diri saya. Nanti saja kalau sudah lebih baik baru saya menjadi Murabbi.

Jawaban : Menjadi Murabbi membuat antum lebih baik. Mulai saja membina.

7. Sangat Sibuk

Alasan : 13 S (Saya sungguh-sungguh sangat super sibuk sekali sampai-sampai selalu sulit selesaikan semuanya)

Jawaban : Kegiatan liqa sepekan sekali, tiap pertemuan cukup dua jam. Kita punya waktu 168 jam tiap pekan. Antum masih punya banyak waktu.

8. Ingin Fokus ke Amanah Lain

Alasan : Saya sudah memiliki amanah dakwah yang lain. Biar saya fokus di situ

Jawaban : Menjadi Murabbi itu bisa dikerjakan bersamaan dengan amanah lain.

9. Tidak Bisa Ceramah

Alasan : Saya kalau berbicara monoton. Tidak menarik. Tidak bisa orasi.

Jawaban : Membina itu dengan hati. Tidak dengan orasi.

10. Tidak Punya Fasilitas

Alasan : Saya tidak punya motor dan sering kehabisan pulsa. Ini menyulitkan dalam menjalankan kegiatan halaqah.

Jawaban : Biar mutarabbi antum yang menghubungi atum dan datang ke rumah antum.

11. Malas

Alasan : Rasanya malas banget harus mengurus mutarabbi. Mengurus diri dan keluarga saja belum beres.

Jawaban : Semoga dengan membina mutarabbi semakin membuat kita bisa mengurus diri dan keluarga.

12. Tidak Punya Alasan

Alasan : Apa ya? Saya tidak tahu mengapa saya tidak membina.

Jawaban : Sebagaimana antum tidak perlu alasan untuk tidak membina selama ini, maka antum juga tidak perlu alasan untuk membina. Mulai saja.

13. Alasan Ketigabelas

Alasan : Setelah saya baca 12 alasan yang antum sebutkan di atas, tidak ada yang sesuai dengan kondisi yang tengah saya hadapi.

Jawaban : Mencari alasan untuk tidak membina memang sulit. Maka segera saja membina.


Monday, May 16, 2016

MURABBI AGUNG



Ehsan Media Social

 

“Dah, cukuplah wahai Rasulullah dengan permintaan kau kepada Tuhan mu itu”


Begitu ungkap Abu Bakr r.a. menjelang Perang Badr al-Kubra tatkala Rasulullah bermunajat yang mana lirih doa tersebut terpateri dalam kitab-kitab sirah. Satu doa yang cukup hebat, dari seorang Nabi penutup risalah;


“Ya Allah Ya Tuhanku, perkenankanlah apa yang telah Engkau janjikan, Ya Allah Ya Tuhanku, aku memohon restu akan janjiMu itu. Ya Allah Ya Tuhanku, sekiranya termusnah kelompok ini di hari ini nescaya Kau tidak akan disembah lagi…..”

Lalu baginda ulangi,


“Sekiranya Kau kehendaki, maka Kau tidak akan disembah lagi selepas hari ini untuk selama-lamanya…”


Inilah yang kita petik dari Kitab Seerah Nabawi karangan Syaikh Safiyurahman al-Mubakarakfuri. Ketika itu, selendang Rasulullah saw jatuh sehingga Abu Bakr r.a mengambil dan meletakkan semula pada bahu baginda saw.


Dalam banyak kesempatan meneliti kisah Rasulullah saw dan umat Islam generasi awal terdahulu, kita dapati di sekian perjalanan, kisah-kisah bagaimana para sahabat mengambil posisi membantu Rasulullah saw, menguatkan baginda, berkorban untuk baginda, taat dan tunduk pada arahan baginda saw. Mereka benar-benar berada di posisi menunjukkan kecintaan sejati kepada baginda. Posisi seorang sahabat yang ikhlas kepada sahabat yang lain. Mereka berada pada posisi seorang mutarabbi, yang sedang dan sedia ditarbiyah oleh murabbi mereka yakni Rasulullah saw.


Jarang-jarang sekali bahkan diketengahkan posisi yang diambil oleh Rasulullah saw pula, sebagai seorang sahabat yang membalas cinta dan pengorbanan sahabat baginda yang lain, sebagai seorang murabbi yang sedang mentarbiyah sahabat-sahabatnya. Mungkin juga kita tidak cakna menilai sejarah manusia hebat ini.


Lantas, satu keratan panorama sejarah yang direkod oleh al-Quran ini wajar diperhalusi oleh sekelian umat Islam.


Ketika perintah hijrah ke Madinah sampai kepada Rasulullah saw, lalu berangkat la baginda ditemani as-Siddiq, Abu Bakr r.a. Salah satu peristiwa dalam perjalanan yang begitu panjang itu disemadikan dalam al-Quran.



“Jika kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya iaitu ketika orang-orang kafir mengusirnya, sedangkan ia salah seorang dari dua orang ketika kedua-duanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya;

“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”

 Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan membantunya dengan bala tentera yang tidak terlihat olehmu, dan Dia jadikan seruan orang kafir itu rendah dan firman Allah itulah yang tinggi, Allah MahaPerkasa, Maha Bijaksana”

(At Taubah :40)


Tidak perlu la kita huraikan dengan panjang lebar dan detailnya kisah yang cukup makruf ini. Tetapi mari sejenak melihat posisi yang diambil oleh Rasulullah saw dalam peristiwa yang bersejarah ini. Kali ini, ayat ke empat puluh surah at-Taubah ini mengangkat posisi Rasulullah sebagai seorang sahabat yang menenangkan sahabatnya yang lain.

Kata-katanya kepada Abu Bakr as Siddiq yang sedang rimas memikirkan keselamatan baginda itu;


“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”


Cukup bersahaja dan menenangkan. Nah, bukankah Rasulullah saw juga memainkan peranan sebagai seorang sahabat? Bukankah ini satu sunnah yang baginda wariskan kepada kita, bagaimana lagaknya seorang sahabat itu, berada di samping temannya ketika senang dan susah, menenangkan sahabat yang bersedih dan rimas, dan mengingatkan si sahabat untuk terus bergantung kepada Allah swt.


Kisah ini mengajak kita merenung diri sendiri dan membayangkan bagaimana kisah persahabatan kita. Adakah selari dengan saranan yang digariskan oleh sunnah dan sejarah ini?


Tidak cukup sekadar itu. Daripada kisah ini juga dapat kita lihat posisi Rasulullah sebagai seorang murabbi agung, yang mentarbiyah sahabatnya, buktinya?


Sekali lagi ungkapan ini;

“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”


Ya.


Sebagai seorang yang berstatus Nabi, yang mempunyai mukjizat, manusia utusan langit yang dijamin syurga, yang mana masa depan risalah pada waktu itu bergantung pada hayat baginda, boleh sahaja Rasulullah ungkapkan kepada Abu Bakr,


“Jangan sedih, aku kan Nabi”

“Jangan sedih, sesungguhnya aku memiliki mukjizat”

“Jangan risau wahai Abu Bakr, Allah pasti memeliharaku..”


Atau ungkapan-ungkapan lain yang seragam dengannya. Tetapi ternyata tidak. Bahkan baginda mengungkapkan,


“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”


Subhanallah!

Ungkapan ringkas dan bersahaja ini, terkandung padanya nilai tarbiyah rabbaniyyah yang sangat tinggi melangit. Tatkala baginda berada di posisi seorang nabi, seorang yang memiiki mukjizat, yang pasti dilindungi Allah swt demi kemaslahatan risalah dan sebagainya, baginda memilih untuk menenangkan Abu Bakr r.a dengan meletakkan sepenuh pergantungan kepada Allah swt. Inilah dia sifat kemurabbian yang tertonjol pada baginda. Mendidik dan mentarbiyah anak binaannya untuk bertaut dan bertawakal kepada Allah swt.


Murabbi berjiwa rabbani, murabbi agung yang menjadi contoh buat sekalian ummat.


Alangkah rindunya kita pada sosok murabbi seperti ini. Yang saban hari, dalam saat segetir mana sekalipun, sentiasa mengingatkan untuk kembali dan menyerahkan segala urusan kepada Allah swt. Sosok murabbi yang mengajar kita mengenal Tuhan, berpandukan cahaya al-Quran dan sunnah.

Benarlah kata-kata masyhur;

“Jika tidak kerana Murabbi, aku tak kan kenal siapa Rabbi”


---


Selamat hari Murabbi buat semua


“Sesungguhnya Allah dan malaikatnya, penghuni langit serta bumi sehinggakan semut yang berada di dalam lubangnya dan ikan-ikan (di lautan) berselawat ke atas guru yang mengajar kebaikan kepada manusia.”

-Hadis Riwayat Tirmizi (3685)

Wednesday, June 4, 2014

DOA DOA LEJEN (1)




Dalam al Quran ada sangat banyak doa yang dilantunkan oleh para Anbiya’ di sepanjang sejarah kemanusiaan yang disematkan di pelbagai kisah epic. Kesemua doa ini mempunyai nilai dan maksud yang sangat tinggi dan mendalam.


Umpamanya doa yang diajarkan kepada kita sejak dari bangku sekolah lagi, yakni, “Rabbishrahli, shodri, wayassirli amri, wahlul ‘uqdatan millisani yafqohu qoulli” juga siapa sangka datangnya daripada kitab maha Agung ini. Puluhan tahun telah kian berlalu, tetapi kita tidak pun pernah mengetahui cerita asa usul doa yang dibaca setiap kali memulakan sesi pembelajaran ini.


Sehinggakan doa ini sekadar dibaca menjadi rutin tanpa dihayati sejarah yang terbuku disebaliknya. Untuk itu, saya dengan ini memulakan sesi merenung kembali doa-doa yang terpateri dalam al Quran. *tarian singa*


Sekali lagi kisah Nabi Musa a.s. yang mendominasi kisah kisah dalam al Quran yang tidak sunyi daripada pengajaran itu akan menjadi pemusatan idea penulisan kali ini. Ewah.


Tatkala Allah swt memerintahkan Musa a.s untuk mendatangi Firaun kerana dia (firaun) telah melampaui batas,


“Pergilah kepada Firaun, sesungguhnya ia telah melampui batas”
(Taha:24)


Maka Musa a.s melantunkan doa ini,


“Berkata Musa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekauan dari lidahku supaya mereka mengerti perkataanku..”
(Taha:25-28)


Ada sambungan rentetan doa di atas yang in sha Allah akan kita bicara di lain kesempatan.



 Ehsan Facebook

Inilah doa yang sering kita baca sejak dari kecil itu, di setiap sela waktu mahu memulakan sesi pembelajaran, yang waktu itu di bilik darjah kita akan bangun meraikan guru yang masuk dan sama-sama membaca doa ini beramai-ramai dengan irama yang sangat comel, dipimpin oleh ketua bilik darjah yang selalunya dipilih atas dasar untuk dikenakan. Adeh. Di zaman saya la.


Daripada kisah ini, pertama-tama sekali kita dapati Nabi Musa a.s seorang Nabi yang tidak  merungut. Tidak complain. Sebaik sahaja diperintahkan untuk berhadapan dengan Firaun, dia menyatakan kesediaan, cuma dengan harapan doanya dimakbulkan tentang beberapa perkara sebagai persiapan misi dakwahnya.


Untuk menikmati betapa bermaknanya doa ini, sangat la wajar untuk kita lihat sejenak latar belakang perjalanan hidup nabi Musa secara ringkas sebelum diamanahkan dengan tugas yang sangat berat itu.


Umum mengetahui Nabi Musa dipelihara oleh Firaun sendiri. Sudah pastinya waktu kecil dia dibesarkan dalam kalangan kerabat diraja, bermain-main dalam istana nan mewah itu dan dikenali ramai. Paling tidak, pasti para pembesar dan orang-orang kenamaan kerajaan Firaun itu mengenali beliau.

Kemudian ditakdirkan Allah swt, usai beliau membesar dan mencapai suatu usia, suatu hari Nabi Musa telah secara tidak sengaja memukul seorang lelaki daripada kaum Firaun atas dasar ingin menolong seorang dari Bani Israel. Lagi epik, pukulan itu membawa maut.



“Dan dia (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka dia mendapati dalam kota itu dua orang lelaki sedang berkelahi, yang seorang dari kaumnya dan seorang lagi dari pihak musuhnya. Orang dari golongannya meminta kepadanya untuk (mengalahkan) orang yang dari pihak musuhnya,

Lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Dia (Musa) berkata, “Ini adalah perbuatan setan. Sungguh dia (setan) adalah musuh yang jelas menyesatkan”
(Al Qasas:15)


Ekoran daripada kejadian ini, Musa menjadi popular dan menjadi most wanted person dalam kerajaan kota tersebut.


“Dan seorang lelaki datang bergegas dari ujung kota seraya berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu”
(Al Qassas:20)


Bukan sahaja Nabi Musa ini akan dikenakan tahanan, tetapi arahan yang dikeluarkan ialah, terus bunuh ! Lalu Nabi Musa membawa diri ke kota Madyan. Dipendekkan cerita, di sana Nabi Musa berkahwin dan setelah selesai urusan di kota itu selama satu tempoh waktu, beliau berhajat untuk kembali ke kota yang ditinggalkan, membawa keluarga baharunya.


Di pertengahan jalan itulah Musa a.s disapa wahyu dan menerima arahan daripada Allah swt. Arahan yang cukup jelas. Satu misi yang cukup besar, berisiko yang mana risikonya ialah nyawa Musa a.s.!


Firman Allah;


“Izhab ila Fir’aun, innahu togho”
“Pergilah kepada Firaun, sesungguhnya dia berlaku togho (melampau)”


Setelah mendengar arahan inilah doa tadi dibacakan oleh Nabi Musa as.


Yang menariknya, doa ini nampak biasa sahaja jika dibandingkan dengan misi Nabi Musa yang sangat besar dan mengerikan itu. Yang diminta, supaya hanya dilapangkan dada, difasihkan bicara dan dimudahkan urusan.


Padahal, arahan kepada Musa ialah untuk berhadapan dengan Firaun, di mana ? Dalam Istana di kota itu. Sudah pasti istana itu dikelilingi oleh para pembesar, hulubalang, laksamana atau apa sahajalah namanya. Dan Musa ini pergi sebagai seorang yang ‘most wanted’. Dan dia dikenali ramai, dibesarkan dalam istana.


Bagaimana dengan doa ini Musa a.s dapat laksanakan misi ini ? Kalau kita berada di tempat Musa a.s, pasti sudah bermacam macam doa kita minta daripada Allah swt. Mungkin kita minta MX16, atau invisible blanket macam Harry Potter, atau sayap supaya boleh terbang terus kepada Firaun, atau kuasa magic seperti Merlin dan bermacam-macam lagi.


Bahkan mungkin kita terlebih dahulu akan merungut dengan alasan-alasan yang sering kita berikan tatkala ada panggilan da’wi seperti,


“Kereta ana masuk workshop, tak boleh la ya akhi”

“Ana dah janji nak keluar dengan zaujah weekend ni”

“Allah ada paper esok, nak kena baca banyak ni”

“Allah jauhnya, dekat dekat tak boleh ke akhi?”


Dan bermacam lagi la.
Ok self-BOB.


Daripada perkaitan inilah kita dapati doa ini cukup powerful.


Dengan permohonan supaya dilapangkan dada, Nabi Musa as telah mengajar kita bahawa pertama sekali sebagai seorang da’ie kita mestilah sentiasa tenang, cool dari segi minda dan emosinya. Dengan emosi yang tidak terganggu inilah kita nampak lebih yakin, waras di mata mad’u dan tidak cepat melatah apabila dakwah ditolak.

Tidak juga cepat melenting bila tengok mutarabbi kita terkantoi buat perkara tidak senonoh. Di waktu waktu yang kritikal begitu, kita kena remain tenang. Kalau ada orang ejek, buat post fitnah, buat status berbau hasutan, comment mengarut di alam maya, kita punya emosi kekal stabil. Begitulah sepatutnya. Bukan ikut sekali terlibat dan memalukan diri akhirnya.

Hatta kalau mad’u terbuat kesalahan, datang lambat halaqah, tidak turun solat berjemaah, tidak reply whatsapp dan seumpamanya, janganlah kita bertindak melulu, menengking tidak tentu fasal. Lapangkan dada, meskipun di hadapan kita itu manusia sezalim Firaun.


Keduanya Nabi Musa mengajar kita bahawa Islam ini agama yang praktikal, bukan ajaib. Urusan urusan menyampaikan risalah yang maha Agung ini terkadang, atau pada banyak kesempatannya sukar. Misinya besar, harapan pula tinggi. Tambahan pula, ragam mad’u ini bermacam-macam. Tetapi, tidak ada jalan mudah melainkan kesemua urusan itu dimudahkan oleh Allah swt.

Nabi Musa tidak minta perkara-perkara yang tidak manusiawi untuk memudahkan urusannya berhadapan dengan para pembesar Firaun dan Firaun sendiri meskipun risikonya adalah nyawa beliau sendiri, cukuplah dengan apa sahaja rancangan yang Allah swt tetapkan untuk memudahkan urusannya. Beliau tetap harus berusaha.


Akhir sekali daripada doa ini kita belajar daripada Nabi Musa as. betapa pentingnya untuk menyampaikan mesej Islam ini dengan jelas tatkala beliau meminta difasihkan lidahnya. Jelasnya dakwah ini kerana ia berdiri atas ilmu dan hujah yang kukuh. Untuk itu, menjadi kebutuhan bagi kita mempersiapkan diri dengan ilmu dan kelengkapan yang sewajarnya sesuai dengan misi kita itu.


Hebat bukan doa ini?
Atau saya sahaja yang terlebih teruja ? Err.


Saudaraku,


Begitulah besar dan penuh bermakna mesej daripada doa ini. Setelah kita mengetahui kesemua ini, sepatutnya mulai saat ini, kita tidak hanya membaca doa ini di bibir tetapi berusaha merealisasikan mesej mesej yang besar itu. Dan bukan sahaja doa ini dibaca dalam kelas, tetapi di setiap kesempatan sebelum kita memulakan suatu misi dakwah ini.


Semoga Allah swt sentiasa melapangkan dada kita agar kita sentiasa tenang dan yakin atas jalan ini. Semoga Allah swt memudahkan urusan kita dalam menegakkan kembali ad deen yang kita cintai ini dan semoga Allah swt melepaskan kekauan lidah kita supaya mesej kita mudah difahami dan diterima oleh target dakwah kita sehendaknya.


Wallahu’alam

Friday, May 16, 2014

MENGETUK PINTU LANGIT




 Facebook



Di suatu masa, saya membaca karya puisi daripada Gus Mus dan daripada A. Samad Said, lalu mulalah saya gatal tangan menulis beberapa bait puisi, yang mungkin tiada nilai estetik juga tiada kualiti pada nilainya. Di kesempatan yang lain, saya membaca buku-buku karya SalimA. Fillah, lalu tulisan saya mula diserikan dengan perkataan perkataan jawa yang kekadang maksudnya  melencong apabila diterjemah ke bahasa ibu kita.


Begitulah, pengalaman menulis, penuh cuba-cuba. Pada selang waktu yang seterusnya, saya membaca karya-karya agung Sayyid Quttb, maka mode penulisan saya serta merta berubah, serius dan tegas. Di waktu lain pula, saya membaca tulisan Imam al Banna dan Sheikh Al Maududi ataupun Sheikh Muntalaq, maka tulisan saya jadi kaku. Apabila ditimbang tara,jauh tiada content.


Pun begitu, semangat menulis tidak pernah menjunam mati, meski sering turun naik di setiap sela waktu. Saya terlalu baharu belajar menulis, belum memiliki gaya tersendiri. Ada sahaja bayangan penulisan buku buku yang saya baca dalam picisan picisan yang berlalu. Tidak mengapalah, bukankah meniru itu satu proses pembelajaran?


Terbaru saya mula meminati karya Ustaz Hasrizal, dan mula ke toko buku untuk mendapatkan hasil tangan daripada HAMKA, ulama’ seberang. Begitu juga dengan tulisan bahasa Inggeris yang berbentuk novel. Dan saya juga pernah bahkan mungkin masih bercita-cita untuk menulis novel picisan berbahasa Inggeris. Tidak banyak yang saya tahu, hanya nama seperti Khaled Hosseini dan Akhtar Ayyad.


Sebelum ini saya merupakan seorang pelajar berlatar belakangkan pendidikan sains tulen yang sudah pasti secara normanya bukan mereka yang menulis. Menulis adalah kerja orang sains social, pada hukum masyarakat yang biasa. Tetapi hari ini, hampir semua sudah mampu berkarya, kerana benar, menulis itu ajaib, melonjatkan daya mahu ke tingkatan yang lebih tinggi.


Apabila mahu menulis, tips nya mesti membaca. Seorang al akh pernah bercerita atau berkongsi tentang tips menulis, katanya ada lima langkah.

Lalu ditanya,

“Yang pertama apa?”

Jawabnya,


“Membaca”

“Kedua?”

“Membaca”

“Lalu ketiganya?”

“Membaca lagi”

“Keempat?”

“Membaca”

“Kelima?”

“Menulis”


Seorang daripada kami pula bertanya,


“Kenapa kelima pun tidak membaca?”

“Kalau kelima pun membaca, itu tips membaca”


Lalu gelak tawa berderai sesama kami.

Maka saya yang tidak suka membaca ini ‘terpaksa’ membaca kerana ingin menulis. Dari satu sudut, itulah kelebihan dan keajaibannya.


Salim A Fillah pernah memberi satu komentar tentang menulis;

"Menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyaksamaan dan penilaian. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan. Tetapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, dan membetulkan kekeliruan."


Begitulah peri pentingnya menulis, menguji kefahaman. Dalam gerabak dakwah dan tarbiyah, penulisan antara cara lain yang efektif untuk menyebarkan fikrah yang ingin di bawa kepada objek atau target dakwah. Bahkan ada yang memahiri seni berdakwah ekoran membaca banya materi yang ditinggalkan oleh mereka yang terlebih dahulu menapaki jalan ini.


Di Malaysia, sangat ramai yang mampu menulis. Di saat ledakan pengaruh facebook, hampir kesemua yang memiliki akaun laman social ini mula belajar menulis, sekecil kecil penulisan status sehingga la mula memberi komentar komentar berkenaan isu semasa. Meskipun banyaknya yang datang bukan dari akal yang tenang tetapi emosi yang terganggu.


Entah mengapa, orang kita yang ramai mampu menulis lebih cenderung bermain dengan isu. Alangkah indahnya jika ada sinergi sesama mereka ini untuk luangkan masa dan menulis bahan bahan yang lebih ilmiah, sampaikan Islam dengan tulisan kepada yang terdekat, sebarkan kebahagian dan keharmonian. Pendiri dakwah yang baru mula bertatih, sangat membutuhkan karya-karya ini untuk membimbing mereka.


Saya berkeinginan untuk menyumbang dengan penulisan ini. Namun, ketandusan ilmu di dada menyebabkan iradah itu sering malap. Tidak banyak yang mampu saya kongsi. Meskipun banyak, tidak banyak pula yang bermanfaat. Itulah cabarannya. Nak tak nak, perlulah si penulis terlebih dahulu mendulang ilmu di segenap juzuk.


Menulis ini sebenarnya kerja yang murni. Dalam Quran ada surah yang diberi nama Qalam yang bermaksud pena dan Allah ada bersumpah dengan menggunakan qalam, yang bermaksud “Demi Pena”


Begitulah, sehingga terpateri abadi dalam kitab yang dibaca sekelian umat manusia. Pun begitu, apa-apa yang murni sekalipun apabila berada di tangan manusia yang cintakan kefasadan dan bercita-cita membangkitkan fitnah yang sedang lena, hancur binasa juga masyarakat kerana pena. Ini juga cabaran menulis, antara dosa dan pahala.


Antara lain cabaran yang paling menggugah jiwa adalah untuk menghidupkan kata-kata itu dalam amal seharian. Jika tidak berlaku, kata-kata yang berjela jela itu berlalu sepi, sesepi dakwah di Malaysia gamaknya. Saya sendiri, kualiti perbicaraan yang diketengahkan tidak ada dalam diri saya. Namun, buat saya dan anda, kita sama-samalah pohon doa agar diberi kekuatan untuk meniupkan nafas pada kata-kata dan hasil tulisan kita.



Kata-kata kita yang menyeru manusia kepada Allah ini adalah kata-kata yang paling mulia, sebagaimana firman Allah;


 "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang soleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."
(Fushshilat : 33)



Sayyid Qutb ketika menafsirkan ayat ini berkata :

"Kalimah-kalimah dakwah yang diucapkan oleh pendakwah adalah paling baik kalimahnya, ia berada pada barisan pertama di antara kalimah-kalimah yang baik yang mendaki ke langit."

Subhanallah, mengujakan bukan. Semoga kata-kata kita itu dan ini benar benar sampai dan mengetuk pintu langit agar Allah memberi barokah kepada setiap abjad dan ayat, juga kepada mereka yang mengajarkan kita bagaimana menggunakan mata pena. Semoga kebaikan yang melimpah ruah itu sampai mengangkat darjat ibu bapa kita, juga para guru kita. Maka di kesempatan ini, selamat hari guru saya ucapkan kepada para guru, kerana mengajarkan murid mu ini menggunakan mata pena.

Akhir daripada saya yang hina
Menulislah !